Jakarta, Mik – Badan Peneliti Indipenden Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran (BPI KPNPA) RI meminta Kejagung RI memeriksa seluruh pekerjaan Waskita Karya di Sumatera Selatan.
Ketua investigasi BPI KPNPA RI DPW Sumsel, Feriyandi berharap Kejagung menurunkan tim untuk menyelediki semua pekerjaan WaskitaKarya di Sumatera Selatan.
“Hasil investigasi diduga kuat adanya unsur KKN pada pekerjaan di Sumsel. Kita juga siap memberikan data awal kepada penyidik terkait pekerjaan di Sumsel,” ujaenya.
Disisi lain diketahui, Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kepala Divisi IV/Senior Vice President Waskita Karya berinisial NH sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi anak perusahaan.
Adapun NH merupakan inisial Norman Hidayat, yang diperiksa terkait kasus penyimpangan dan atau penyelewengan dalam penggunaan dana Waskita Beton Precast pada 2016-2020. Pada anak perusahaan pelat merah tersebut, Norman juga menjabat sebagai manager anggaran.
Dalam hal ini, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) mendalami pengetahuan Norman terkait proyek pembangunan jalan tol di Jawa Timur.
“Saksi NH diperiksa berkaitan dengan proyek Tol Krian-Legundi-Bunder-Manyar (KLBM) yang berlokasi di Manyar,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (28/6).
Penyidik menduga terjadi penyimpangan dalam proyek pembangunan tol tersebut. Adapun pembangunan Tol KLMB hanya salah satu proyek yang didalami Kejagung, selain pekerjaan produksi tetrapod dari PT Semutama.
Lalu, pengadaan batu split dengan penyedia PT Misi Mulia Metrical dan permasalahan atas transaksi jual beli tanah di wilayah Bojanegara, Serang, Banten. Selain Norman, JAM-Pidsus turut memeriksa saksi berinisial ZR.
Adapun saksi tersebut merupakan Staf Pemasaran Area 1 Waskita Beton Precast. Pemeriksaan terhadap saksi ZR difokuskan pada proyek pengadaan tetrapod. Sejauh ini, belum ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara itu.
Kejagung mulai menyidik dugaan korupsi pada Waskita Beton Precast pada 17 Mei 2021. Setidaknya, kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.