Palembang, Mik – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak segera melakukan investigasi terkait kebijakan Bank Negara Indonesia (BNI) yang diduga memberikan pinjaman triliunan rupiah ke perusahaan batu bara BG tanpa agunan di Sumatera Selatan.
Desakan itu, disampaiakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal. Menurutnya, jika terdapat bank yang menyalurkan kredit tanpa ada agunan, sudah menyalahi prinsip kehati-hatian perbankan dan ada prinsip yang dilanggarnya.
“Sehingga ini saya rasa OJK sebagai otoritas keuangan yang mengawasi sektor keuangan termasuk dalam perbankan harus menginvestigasi dan memastikan ini sesuai dengan prinsip kehati-hatian itu tadi,” kata Faisal dalam keterangannya, Selasa (7/6).
Faisal menegaskan, seyogyanya sebuah bank milik negara ketika ingin menyalurkan kredit kepada debitur memang perlu ada assessment yang cukup prudent.
“Karena pada dasarnya perbankan ini kan menyimpan dana masyarakat, dana publik jadi pengelolaannya harus profesional harus benar-benar prudent dan dalam artian menganut prinsip kehati-hatian,” ujarnya.
Hal tersebut, kata dia, menjadi alasan mengapa jika ingin minta kredit ke bank harus ada syarat-syaratnya termasuk salah satunya adalah agunan atau collateral. Ada juga syarat-syarat yang lain seperti masalah pembukuan keuangan, administrasi dan lain-lain.
Terkait penyaluran kredit oleh BNI, dia berharap jangan sampai ada conflict of interest yang bisa berdampak nanti jika seandainya memang tidak layak dan kemudian kredit tersebut bermasalah.
“Nah ini kan berdampaknya nanti juga kepada cashflow keuangan di BNI yang menyimpan dana publik gitu. Jadi itu yang memang perlu diinvestigasi,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati mengatakan, apabila kabar kredit BNI ini benar, tentu bertentangan dengan harus adanya prinsip agunan.
Menurut anggota Komisi XI DPR RI, agunan ini sangat penting sebagai second way-out jika debitur melakukan wanprestasi dan secara psikologis menjadi pengikat keseriusan debitur menjalankan usaha dan membayar kewajiban kreditnya.
“Menurut saya, bank sebagai pemberi pinjaman tetap harus mengukur kelayakan kredit calon debitur dengan prinsip 6C, yakni character, capacity/cashflow, capital, conditions, collateral dan constraint. Apabila isu ini benar, tentu bertentangan dengan harus adanya prinsip collateral (agunan),” kata Anis yang merupakan politisi PKS.
Sehingga, lanjutnya, apabila terjadi penyalahgunaan wewenang atau aturan, bisa dikenakan beberapa pasal baik aturan perbankan, OJK maupun aturan lainnya.
“Ketika kredit macet dapat merugikan keuangan negara, maka perangkat hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikannya permasalahan tersebut,” pungkasnya.(net)