Jakarta, Mik – Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI) tengah menyoroti PT Fortuna Marina Sejahteta (FMS) yag diduga masih tetap beraktifitas meski telah mendapatkan sanksi dari Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (LHP) Provinsi Sumsel atas dugaan pencemaran lingkungan.
Ketua BPI KPNPA RI Feriyandi mengatakan, permasalahan pada PT FMS sampai saat ini belum tuntas seperti banyaknya keluhan masyarakat tentang debu berhamburan yang mengganggu akibat pengangkutan batubara.
“Saat ini kita ketahui DPR RI tengah membahas adanya aktifitas di salah satu PT yang juga sempat menjadi sorotan kita saat itu. saat ini kita juga tengah menyoroti di PT FMS ini yang diduga kebal hukum,” katanya.
Feri mengatakan, tidak menutup kemungkinan pihaknya juga akan melapor ke DPR RI dan melakukan aksi demonstrasi ke Polda Sumsel serta DLHK Sumsel dengan tuntutan untuk menutup PT FMS yang diduga hanya mementingkan kepentingan pribadi.
“Oleh sebab itu kami menilai perlu adanya tindaklanjut yang serius terhadap PT Fortuna karena kesalahan yang terjadi berbeda tipis dengan PT RMK,” tandasnya.
Disisi lain terkait PT yang diduga banyak merugikan masyarakat Komisi VII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Pembinaan Pengusaha Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk meminta klarifikasi Dirut PT RMK Energy Tbk (RMKE) dan PT Truba Bara Banyu Enim (TBBE).
Rapat yang digelar pada Senin (28/8) itu rencananya membahas aktifitas ilegal perusahaan yang sudah melantai di bursa saham itu bersama anak usahanya di wilayah operasional Muara Enim, Sumsel.
Secara spesifik, mengenai kasus dugaan jual beli aset Jalan Pramuka milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muara Enim yang kini sedang bergulir di ranah Kejari Muara Enim.
“Kami meminta penjelasan terkait dugaan ilegal mining yang dilakukan Truba Bara Banyu Enim di lahan yang bukan menjadi aset perusahaan,” kata Wakil Ketua Komisi VII, Bambang Haryadi, Senin (28/8).
Dia mendesak Kementerian ESDM untuk menghentikan sementara operasional kedua perusahaan dengan membekukan RKAB yang dimiliki keduanya. Terlebih, Dirut perusahaan yang dipanggil dalam RDP tidak hadir ke gedung parlemen. Sehingga, dugaan tersebut kian menguat.
Dalam cuplikan rapat tersebut, Direktur Pembinaan Pengusaha Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Lana Saria mengaku jika pihaknya tidak pernah mendapatkan informasi terkait kasus yang terjadi di Sumsel itu. Direktur Pengusahaan Batubara yang sebelum ini menjabat Direktur Teknik dan Lingkungan Dirjen Minerba itu terkesan menyalahkan pemerintah daerah.
“Kami baru mengetahui setelah adanya pemanggilan ini, kami juga tidak pernah mendapat informasi dari pemerintah daerah yamg menginformasikan atau melakukan pelaporan bahwa ada penggunaan aset daerah (aktifitas secara ilegal) oleh perusahaan,” kata Lana.
Lana berkilah, minimnya informasi tersebut lantaran adanya proses transisi pengalihan kewenangan kegiatan penambangan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) ke Kementerian ESDM. “Kami baru tahu kalau ada permasalahan seperti itu saat dipanggil DPR RI,” kilahnya.
Namun, pernyataan Lana tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan Kejaksaan Negeri (Kejari) Muara Enim yang telah menetapkan seorang tersangka dalam kasus itu yakni Kades Gunung Megang Luar.
Kajari Muara Enim, Ahmad Nuril Alam dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya telah memeriksa 28 orang saksi dalam kasus tersebut. Bahkan, empat orang diantaranya merupakan saksi ahli di masing-masing bidang. Seperti saksi ahli dari BPN, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri dan BPKP.
Tentunya, saat meminta keterangan saksi-saksi tersebut, Kejari Muara Enim telah melayangkan surat resmi ke masing-masing lembaga. Termasuk salah satunya Kementerian ESDM. Sehingga, informasi mengenai kasus tersebut pastinya sudah diketahui oleh lembaga yang bersangkutan meskipun tidak ada laporan dari pemerintah daerah.
Pernyataan Lana Saria ini juga berbeda dengan kondisi di lapangan. Sebab, Dirjen Minerba telah menempatkan sejumlah Inspektur Tambang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan aktifitas pertambangan di wilayah Sumsel. Lana Saria, semasa menjabat sebagai Direktur Teknik dan Lingkungan juga diketahui kerap berkoordinasi dengan perusahaan tambang di wilayah Sumsel.
Sehingga pernyataannya dalam rapat tersebut membuat Kepala Dinas ESDM Sumsel, Hendriansyah geram. Seolah tak mau disalahkan, Hendri yang juga manajer klub Sepakbola Sriwijaya FC ini mengatakan, sejak terbitnya UU No 3 Tahun 2020, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan Batubara tidak lagi menjadi kewenangan daerah.
“Sudah menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. PT RMK dan TBBE berkegiatan di penambangan Batubara. Tidak mungkin Dinas ESDM Sumsel melaksanakan kegiatan yang bukan kewenangannya,” ucapnya.
Sehingga, kata Hendriansyah, tidak ada keharusan pemerintah daerah untuk melapor ke Kementerian ESDM. Tetapi, dari kementerian ESDM lewat Dirjen Minerba yang seharusnya lebih aktif dalam melakukan pengawasan. “Kan sudah ada Inspektur Tambang perwakilan daerah. Nah, merekalah harusnya yang bisa lebih aktif lagi,” tandasnya.